Menyeleraskan Kualifikasi Guru Vokasional dengan Standar ASEAN

“Pendidikan vokasi telah menjadi tumpuan bangsa untuk bersaing ditingkat global, sehingga Pemerintah menggulirkan revitalisasi pendidikan vokasi tingkat perguruan tinggi untuk menjawab tantangan terkait kebutuhan sumber daya manusia terampil yang siap kerja,” ujar Dr. Ir. Paristiyanti Nurwardani, Direktur Pembelajaran pada Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi saat menjadi Keynote Speaker dalam International Conference on Technology and Vocational Teacher (ICTVT) dengan tema “Vocational Teacher Qualification in Alignment with ASEAN Regional Standard” yang diselenggarakan oleh Fakultas Teknik dan Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta di Hotel Sheraton (28/09/2017).

Forum ilmiah seperti ICTVT ini juga sangat penting untuk mendukung Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Kami sangat menanti luaran dan realisasi dari konferensi ini terutama dalam meningkatkan profesionalitas guru SMK di Indonesia terlebih UNY sebagai  salah satu institusi kependidikan guru terbaik di negeri ini,” tambah Direktur Pembelajaran.

Sementara itu Rektor Universitas Negeri Yogayakrat, Prof. Dr. Sutrisna Wibawa menjelaskan, perbedaan Pendidikan Vokasi dengan pendidikan akademik adalah pada arah pendidikan vokasi untuk menghasilkan lulusan siap kerja, terampil, sedangkan pendidikan akademik yang dihasilkan lulusan yang memiliki keahlian.

“Jadi, jika anda ingin menjadi tenaga terampil yang siap kerja, masuklah di politeknik atau pendidikan vokasi. Tidak hanya politeknik, universitas juga memiliki pendidikan vokasi yang bernama sekolah vokasi yang umumnya sampai D3,” kata Rektor UNY.

Saat ini perusahaan tidak hanya melihat para pencari kerja hanya dari selembar ijazah, tapi keterampilan dan keahlian juga sangat diperhatikan. Untuk memperoleh keterampilan di dunia kerja, biasanya para mahasiswa di perguruan tinggi mengikuti magang di dunia industri maupun perusahaan selama tiga bulan.

Waktu tersebut dapat dikatakan belum cukup, untuk para mahasiswa dalam memperoleh keterampilan bekerja, sehingga banyak lulusan yang menganggur karena belum siap untuk bekerja. Namun, melalui kinerja Kemenristekdikti dalam merevitalisasi pendidikan tinggi vokasi, para mahasiswa tidak perlu khawatir dalam mencari pekerjaan setelah lulus nanti.

Revitalisasi adalah bagaimana memberdayakan atau membuat politeknik memiliki hasil lulusan yang siap kerja sesuai dengan yang dibutuhkan industri, atau dibutuhkan oleh masyarakat. Berangkat dari hasil itu, maka lulusan politeknik dan sekolah vokasi harus memiliki kompetensi, yang tergambar dalam sertifikat kompetensinya.

Revitalisasi pendidikan vokasi muncul sebagai strategi dasar pengembangan sumber daya manusia bangsa yang lebih kompetitif dalam kerangka kerja dunia. Beberapa strategi untuk merevitalisasi pendidikan kejuruan meliputi 6 cara, yakni pemetaan pendidikan vokasi, meningkatkan dan menyelaraskan kurikulum pendidikan kejuruan sesuai dengan kompetensi lulusan atau dikenal dengan istilah link and match, meningkatkan kuantitas dan kualitas guru dan staf bidang  vokasi, membangun kerja sama dengan kementerian, institusi, pemerintah daerah, bisnis dan industri, memperbaiki akses terhadap sertifikasi dan akreditasi ketenagakerjaan, dan  membentuk kelompok kerja pendidikan kejuruan.

Konfrensi internasional ini juga menghadirkan pembicara tamu antara lain Prof. Ming Chang Wu, Ph.D., Dekan National Yunlin University of Science and Technology in Taiwan,  Assoc. Prof. Dr. Margarita Pavlova dari Department of International Education and Lifelong Learning, The Education University of Hong Kong dan Prof. Dr. Paed. Habil. Gisela Wiesner dari TU Dresden, Jerman. (hryo)